Watch This Be The Wrong Thing, Classic
Naura terus menggigit sedotan minumannya. Beberapa kali ia bergantian menggigit bibirnya sendiri. Kakinya terus bergerak maju dan mundur, menciptakan irama gugup yang bahkan membuatnya kesal sendiri. Lagu yang terputar di earphonenya lewat begitu saja, sama sekali tak dia dengarkan. Naura memandangi jendela mobil dengan tatapan kosong, matanya tak tahu harus fokus menatap apa. Pikiran Naura terlalu sibuk sekarang, tak sempat mengurus pendengaran atau penglihatannya.
Pikirannya membawa Naura mengingat kejadian tadi malam. Deva menjemputnya di lobby apartemen Sarah. Dia membunyikan klakson beberapa kali, tanpa membuka jendela mobil seperti biasa. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun dalam perjalanan, atau mempersilahkan Naura mendengarkan lagu kesukaannya. Jari-jarinya mengetuk setir mobil dengan ritme tak sabar, napasnya berat, ia terus mendecak sebal tiap ada kendaraan lain yang menghambat perjalanan mereka, seolah-olah dirinya tidak tahan berada di mobil bersama Naura.
Naura tenggelam dalam kecemasan. Ia menyandarkan kepala ke jendela mobil. Matanya tetap berusaha untuk tidak melirik Deva di sebelahnya. Ini kali pertamanya mereka bartengkar. Delapan tahun pertemanan mereka dipenuhi Deva yang terus mengalah. Deva akhinya berhenti mengalah ketika Naura mulai berharap lebih.
Pikiran Naura dipenuhi ketakutan. Mereka harus berpisah sampai pertengahan tahun depan. Kalau Deva benar-benar marah padanya, mungkin pertemuan mereka tahun depan hanyalah bayangan semu yang ia ciptakan di kepalanya. Semua bayangan indah yang terus berputar-putar di kepalanya beberapa hari terakhir seketika buyar. Bayangan perpisahan mereka yang manis, mungkin akan berganti jadi miris. Hatinya benar-benar terasa janggal.
Cemas dan takut yang terus mengerubungi Naura membuat tubuhnya terasa dingin dan membeku. Dia tidak bisa berpikir jernih.
Mobil berhenti di drop-off bandara. Semua segera turun dari mobil, kecuali Naura yang masih melamun. Naura menarik napas panjang. Deva menutup pintu bagian dia duduk tadi tanpa ikut mengajak Naura turun. Ghege membuka bagasi mobil dan membantu Deva mengambilkan barang-barangnya.
“Heh, turun.” Protes Ghege dari belakang.
Naura tetap di tempatnya sejenak. Menatap hiruk-pikuk bandara dari balik jendela mobil. Dia belum siap berpamitan dengan Deva dalam keaadan kacau begini.
Bandara dipenuhi suara roda koper yang bergulir dan pengumuman penerbangan yang bergema. Bagi Naura, semua itu hanya latar belakang kabur yang sama sekali tak terdengar jelas. Satu-satunya yang terdengar jelas di kepalanya sekarang adalah ketegangan yang menggantung di antara dirinya dan Deva.
Mereka berjalan berdampingan. Hanya selisih satu langkah kaki. Tapi, rasanya Deva jauh sekali dari dirinya. Sarah berusaha mengajak ngobrol mereka berdua dengan melemparkan candaan-candaan ringan. Naura sama sekali tidak mendengarkannya. Ghege yang biasanya diam malah yang kali ini menanggapi candaan Sarah. Dia berusaha menawarkan Naura makan malam untuk yang kedua kalinya. Tapi, siapa yang bisa lapar di tengah cemasnya perpisahan?
Cemas di kepalanya membuat waktu terasa lebih cepat. Sampai tiba di waktunya untuk berpamitan. Ghege dan Sarah bergantian memeluk Deva dengan hangat. Ketika keduanya selesai berpelukan, dan giliran Naura tiba, dunia serasa berhenti berputar. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Naura memaksakan dirinya mendongak untuk menatap Deva yang lebih tinggi. Dia tidak mendekat menuju Deva. Naura berdiri mematung di tempatnya.Deva hanya balas menatap. Dia tampak tidak berniat memulai percakapan. Deva masih memegangi kopernya, tidak ada tanda-tanda akan melebarkan tangannya untuk berpelukan. Sarah dan Ghege menonton kecanggungan mereka dengan bingung.
Dunia Naura berhenti. Yang bergerak hanya dirinya dan Deva di depannya. Naura kehilangan kata. Jantungnya berdetak terlalu cepat sampai pikirannya keberisikan. Dia tidak bisa berpikir. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Deva hanya berdiri, menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa Naura artikan.
“Nau?” Sarah membuyarkan lamunan Naura.
Kini dunia bergerak dengan cepat, seperti biasa.
“Dev,” Naura susah payah membuka mulutnya. Deva masih menatapnya dengan intens. Kali ini dia mengernyitkan dahinya, seperti menuntut Naura melanjutkan kalimatnya.
“Hati-hati.” Hanya itu yang bisa dia pikirkan sekarang.
Deva mengangguk dan tersenyum kecil. Dia menepuk-nepuk bahu Ghege sebelum benar-benar pergi. Deva mengambil tas jinjingnya di lantai, meletakkannya di atas kopernya, kemudian melambaikan tangannya ke Sarah, dan Ghege.
Naura membayangkan adegan selanjutnya. Deva akan berbalik badan, dan segera pergi menjauh darinya. Entah menjauh sampai pertengahan tahun depan, atau selamanya. Dia tidak punya banyak waktu.
Belum sempat pikirannya memutuskan mana keputusan yang baik atau yang buruk, Naura cepat-cepat meraih tangan Deva sebelum tangan itu meraih pegagangan kopernya. Seperti seorang anak kecil yang takut kehilangan sesuatu yang tak tergantikan.
“Aku mau ngomong. Sebentar aja.” Naura berusaha mengucapkan kalimat itu dengan susah payah.
Deva mengernyit lagi, tapi ia tidak menarik lengannya dari genggaman Naura. Dia mengangguk mengiyakan.
“Kita kesana dulu, deh, ya?” Sarah dan Ghege langsung sadar apa yang terjadi. Mereka buru-buru menjauh dan memberikan mereka ruang.
Naura masih menggenggam lengan Deva, semakin erat seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa menghentikannya dari jatuh ke jurang penyesalan. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia tahu, jika ia melepasnya sekarang, ia tidak akan punya keberanian lagi.
“Kenapa, Naura?” Deva akhirnya membuka pembicaraan karena Naura tak kunjung bersuara.
“Aku minta maaf..” kata Naura lirih. Lirih sekali sampai Deva mendekatkan kepalanya mendekati kepala Naura.
“Minta maaf karena?” Deva sengaja memancing Naura untuk menjelaskan permintaan maafnya.
“Karena.. karena perlakuan aku ke kamu selama ini. Maaf aku selalu perlakuin kamu sesuka hati dan nggak mikirin perasaan kamu. Aku minta maaf karena bikin kamu ngerasa nggak dihargain sama aku.” Naura makin menunduk, apalagi setelah Deva mendekatkan kepalanya. Dia tidak berani mendongak karena takut wajah mereka berpapasan dengan jarak yang dekat.
“Kenapa kamu nggak ngomong tadi malem aja?” Deva belum mengiyakan permintaan maaf Naura.
“Maaf, aku takut kamu makin marah denger aku ngomong.. aku takut berantem sama kamu di mobil. Aku beraniin diri buat ngomong karena liat kamu mau pergi, aku takut kamu nggak mau ketemu aku lagi setelah ini.”
“Kamu takut aku nggak mau ketemu kamu lagi?” Deva mengulang kata-kata Naura. Ada banyak emosi yang tersirat dari intonasi perkataan Deva barusan. Dia kecewa, marah, dan bingung.
“Nau, I’ve never thought of doing that. Tapi aku capek kalau harus tebak-tebakan kayak gini terus sama kamu.” Deva menghela napas panjang. Ia menyisiri rambut dengan tangannya sebagai
“I just want to know what’s really going on in your head. I’m not mad. I just want to understand you, okay?” Deva berbisik.
Tangan kiri Deva bergerak menuju tangan kanan Naura. Kedua tangan deva kini menggenggam tangan Naura erat-erat.
Naura masih belum mendongak. Bahkan, lebih menunduk dari sebelumnya. Dia mati-matian menahan air matanya yang sudah menggenang agar tak sampai jatuh.
“Aku nggak tau mau jelasin dari mana.” Naura menggeleng.
“That’s okay, aku tungguin.”
“Dan aku nggak berani, Dev.” Naura mendongak. Akhirnya. Matanya yang sudah berair itu menatap Deva memelas. Ia memanyunkan bibirnya, merayu Deva supaya berhenti membuatnya jujur.
Deva menggelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak luluh. Dia terus menatap Naura intens meskipun mata didepannya itu sudah benar-benar terlihat lemah sekarang.
“I don’t want to ruin us.”
Tatapan tajam itu langsung melemah menyadari arah perkataan Naura barusan. Genggaman tangan mereka yang erat ikut merenggang. Deva paham betul makna kata Ruin yang dipadankan dengan kata Us bermakna apa dalam pertemanan mereka.
Dia masih mengunci tatapan mata mereka. Tapi tatapannya melunak, seolah emosi yang tadinya meluap kini padam. Kini tatapan matanya menyorotkan rasa nyaman dan hangat.
“That’s okay, Nau.. that’s okay if you want to ruin us right now. Just promise me one thing,” Deva mengencangkan genggaman tangannya kembali, ia melanjutkan, “Promise me you’ll still want to pick up the pieces with me, no matter how messy it gets. And if we have to, we’ll build us back from the start again. So go ahead, ruin us now.”
Naura mengatur nafasnya yang masih berantakan. Jantungnya sudah berdetak dengan kecepatan normal. Perkataan Deva tadi sudah lebih cukup untuk membuatnya tenang. Tapi, badannya serasa melayang sekarang.
“Kamu tau kan aku mau bilang apa? Kamu tau arah pembicaraan aku kemana.” Naura masih belum berani mengucapkan kalimat itu.
Deva menganggukkan kepalanya.
Naura menggeleng sambil menatap laki-laki itu memelas. “Please?”
“I want to hear those words come out of your mouth. I won’t let this end with me guessing, again. I want to hear it from you.”
Naura menarik napasnya dalam-dalam. Dia harus mengambil resiko kali ini. Deva adalah resiko yang akan dia ambil dan perjuangkan.
“Deva, aku rasa.. aku.. mulai sayang sama kamu.. but not as your highschool best friend again. Aku ngerasa selalu pengen ada disamping kamu, dan the idea of you going back to Singapore makes me super anxious… karena kamu akan jauh dari aku. Ketika kamu mention your ex, Odelyn, di depan aku… aku ngerasa… hmm.. aku ngerasa, a little bit… jealous. And when you hold my hands like this,”
“Umhm?” Deva mengencangkan genggaman tangan mereka lagi.
“Aku serasa mau mati.”
Deva tertawa pelan mendengar jawaban Naura barusan. “Please, don’t.”
Dia kembali mengarahkan matanya ke mata Naura, memastikan semua yang dia dengar benar-benar nyata. “So, this is you ruining us?” tanya Deva.
Naura mengangguk ragu. Masih banyak yang ingin dia ingin katakan. Tapi, menyadari Deva sudah mulai melirik jam tangannya. Naura sadar waktunya sudah mulai habis.
“I still wan’t to talk to you about this, Nau. But I don’t have time right now. I’m still trying to process all of this and I can’t think clearly right now. I really have to go.”
Deva melepas pelan-pelan genggaman tangannya dari Naura. Ia kemudian melebarkan kedua tangannya, “Hug for me?”
Naura langsung menyambut dengan pelukan hangat. Ia memeluk Deva begitu erat sampai wangi parfum laki-laki itu rasanya ikut berpindah ke Naura.
Masih dalam pelukan, Deva berbisik, “We’ll continue this conversation later, ya?”
Naura mengangguk setuju. Masih belum bisa melepas pelukan mereka. Deva mengelus rambut pendek Naura dengan tangannya, memberikan ketenangan sejenak bagi Naura yang sudah cemas kembali.
Di tengah pelukan hangat itu, ketakutan Naura akan penolakan Deva akhirnya pudar, berganti ketakutan atas apa yang akan terjadi selanjutnya.
Apapun itu, Naura akan mengambil resiko itu.