Too Soon To Tell You “I Love You”?

Good Night, Ale!
2 min readJan 15, 2025

--

Photo by Egor Myznik on Unsplash

Mobil melaju kencang di tengah gerimis, membuat perpisahan mereka tadi terasa makin jelas dan kelam. Tidak ada yang berbicara di mobil. Sarah dan Ghege biasa dipancing percakapannya oleh Naura. Tapi, Naura yang duduk di kursi tengah sendirian hanya diam sejak tadi. Naura terus menunduk menutupi kesedihannya. Dia menahan-nahan air matanya jangan sampai terjatuh. Sarah yang duduk di depan terus melirik Naura dari kaca mobil, dia akhirnya tidak tahan dengan keheningan yang diciptakan Naura.

“Nau, kenapa sih diem aja dari tadi?” Tanya Sarah, suaranya menyiratkan banyak tanda tanya. Ia menoleh ke kursi tengah.

Naura terdiam. Dia terus terdiam. Naura malah makin menunduk. Membuat Sarah makin curiga dan makin memaksa.

“Nau, ada masalah?”

Naura menggeleng.

“Tadi ngomong apa emangnya sama Deva? Kenapa nangis?”

Sadarnya Sarah membuat air mata Naura langsung tumpah perlahan-lahan. Tetes demi tetes mengenai tangan Naura sendiri.

“Aku tadi confess… ke Deva.” Naura menjawab dengan terisak.

Hening di mobil yang netral langsung berubah hawanya. Sarah membeku sejenak, berusaha memahami apa yang naura katakan barusan. Kedua alisnya terangkat, sampai akhirnya dia sadar. Dia menoleh lagi ke arah Naura. Matanya menyipit penuh amarah yang sulit untuk disembunyikan, “Apa?”

Hening lagi untuk beberapa saat. Naura tidak berani menjawab pertanyaan retoris Sarah yang dia lontarkan. Ghege yang tadinya menyetir dalam kecepatan penuh langsung memelankan kecepatan mobil.

“Gila lo ya?”

Naura tidak berani membuka mulutnya lagi.

“Nggak punya hati lo ya?”

Ghege melepas satu tangannya dari setir mobil. Dia menepuk-nepuk pelan paha Sarah. Kepalanya menggeleng pelan. Mengisyaratkan Sarah untuk meredam amarahnya yang sedikit lagi dia tahu akan pecah.

“Lo bego apa gimana sih? Lo nggak sadar-sadar dia sesayang apa sama lo bertahun-tahun? Udah putus gini lo baru nyadar ya? Udah nggak ada yang sayang sama lo baru lo kecarian? Lo tuh nggak beneran sayang dia. Lo kesepian. Lo belum puas ya nyakitin dia?”

Ghege memotong, “Sayang, udah, udah.” Dia berusaha menenangkan Sarah.

Sarah belum puas, dia menepis tangan Ghege. Sarah masih menoleh ke kursi tengah tempat Naura duduk.

“Deva itu sepupu gue! Lo nggak usahlah temenan sama gue kalau lo nyakitin dia terus. Gue muak lama-lama sama lo. Lo kira gue bakal ngomong apa? Wah, akhirnya lo sadar Deva suka sama lo? Nggak. Tau gue mau ngomong apa? Lo nggak pantes disayangin sama Deva lagi.”

Air mata Naura makin deras turunnya. Sakit hati atas perkataan sahabatnya sendiri. Kata-kata Sarah tepat menghantamnya ke dalam hatinya. Perkataan Sarah benar-benar menghantui pikirannya. Memaksanya percaya. Dirinya kini merasa tidak pantas untuk Deva. Dalam sesaat, dia menyesali perkataannya pada Deva di bandara tadi. Tapi, peluk dan genggaman tangan Deva yang tadi menghangatkan hatinya juga masih terbesit di benak. Dua hal itu berputar-putar di kepalanya, membuatnya bingung dan takut.

Dia merasa sendirian di mobil. Kini dia kehilangan Sarah dan Deva sekaligus.

--

--

Good Night, Ale!
Good Night, Ale!

No responses yet