Heard the Risk is Drowning, But I’m Gonna Take It
Deva memapah Naura sampai ke sofa ruang tamu apartemen miliknya. Akibat Naura yang sudah muntah di toilet bandara dan setengah pingsan di mobil, akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti terlebih dahulu di apartemen Deva.
Masih setengah berkunang-kunang, Naura memfokuskan pandangannya kembali. Ia menatap sekeliling ruangan. Ini kali pertamanya ada di apartemen milik Deva. Deva sudah pergi ke dapur untuk mengambilkan Naura air minum.
Naura berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dia menyandarkan tubuhnya di sofa dan menarik nafasnya dalam-dalam. Dahinya terasa dingin akibat tempelan pereda demam. Dia tidak banyak ingat yang terjadi di bandara setelah dia muntah dan dijemput Deva.
Naura memperhatikan seisi apartemen. Untuk sebuah apartemen yang hanya ditinggali satu orang, apartemen ini terhitung sangat besar. Cahaya dari gedung-gedung dibalik dinding kaca yang tirainya belum ditutup menambah terang suasana apartemen Deva. Apartemen Deva terbilang cukup rapi, namun rasanya sedikit kosong.
Naura menatap Deva yang sedang berada di dapur. Deva terlihat berbeda malam ini. Dia terlihat.. berantakan. Deva memang selalu berpakaian dengan nyaman. Tapi, rambutnya selalu rapi, di jam berapapun. Deva hanya menjemputnya dengan kaus, celana pendek, dan sandal. Rambutnya berantakan. Entah dia begitu karena sudah malam atau sudah seminggu dia begitu. Naura tidak banyak tahu kabarnya akhir-akhir ini.
Deva datang membawa secangkir teh hangat dari dapur. Dia meletakkan cangkirnya di atas meja di depan sofa, dan ikut duduk di samping Naura.
“Minum, Nau.”
Naura langsung menurut. Entah kenapa, dia merasakan hawa yang berbeda dari Deva malam ini. Memang dia baik seperti biasa. Tapi, Naura merasakan Deva bersikap dingin dan memberinya jarak yang sebelumnya tidak pernah dia berikan.
Naura menghabiskan perlahan-lahan isi teh hangat di dalam cangkir. Deva hanya duduk diam di samping Naura tanpa memulai percakapan. Naura menyeruput teh sambil berpikir keras, meskipun kepalanya panas. Dia setengah mati memikirkan harus berkata apa. Sebenarnya, dia sudah memikirkannya sejak pagi tadi, tapi tak kunjung menemukan jawabannya.
Apa kabar? Tidak. Hai? Tidak. Sayang? Hah?
Tapi ini gilirannya berbicara. Dia yang repot-repot datang ke Singapura untuk bertemu Deva. Tentu harusnya dia yang punya sesuatu untuk dibicarakan. Apa yang ingin Naura bicarakan, sebenarnya? Dia ingin bertemu Deva dan menenangkannya. Tapi, harus bicara apa?
“Kamu kesini mau ngomong sesuatu?” Deva tiba-tiba membuka mulut. Dia yang tadinya duduk menatap lurus ke depan akhirnya menoleh menatap Naura.
Ah, mampus. Itu pertanyaan yang baru saja Naura doakan jangan sampai keluar dari mulut Deva.
“Iya, Dev. Aku mau tau kamu kenapa? Kenapa kamu jauhin aku? Keaadan kamu sekarang gimana?” Naura menjawab. Kedua tangannya masih memegangi cangkir hangat berisi teh.
“Aku kan udah cerita?”
“Tapi, aku mau denger langsung dari kamu.”
Deva menghela nafas dan ikut menyandarkan badannya di sofa. Dia berhenti menoleh ke arah Naura.
“I don’t know where to start. Lagian kamu masih sakit, Nau.”
Naura meletakkan cangkirnya ke atas meja.
“Tapi, kan, aku makin sakit kalau kamunya kayak gini.” Naura memanyunkan bibirnya memelas.
Deva tersenyum kecil. Dia meletakkan tangannya di leher Naura beberapa saat, “Badanmu panas banget, Nau. Besok aja kalau mau ngomong.”
“Pleaseeeeee….” Naura berusaha bersuara dengan suaranya yang tiba-tiba habis.
“Aku nggak bisa ngomong langsung. Makanya aku chat kemarin. Aku nggak biasa cerita aku kenapa.”
“Belajar, Dev. Aku mau belajar buat kamu. Kamu juga harus belajar. Nggak apa-apa sama-sama belajar.”
Deva menghela nafas, “I know. I’ll try.”
Kepala Naura yang panas tiba-tiba menghasilkan ide. Ia menepuk pelan lengan Deva.
“Aku tau dengan cara apa kamu akan nyaman ceritanya!”
“But I’ll need some time.” Deva mengeluh. Sebenarnya dia setuju dengan ide Naura. Tapi, dia ingin mengungkapkan semuanya dengan singkat.
Naura mengangguk. “Aku tau. Makanya aku kasih ide itu, aku butuh tidur sebentar.”
Deva menoleh ke Naura. Dia hanya mengenakan kaus pendek dan celana pendek sementara gadis itu tengah sakit berat.
“Mau diambilin selimut?”
“Please.”
Deva beranjak pergi ke dalam kamarnya untuk mengambil selimutnya, sekalian mengambil laptopnya. Dia menyelimuti Naura di sofa. Deva duduk kembali di samping Naura dan mulai mengerjakan apa yang Naura. Naura, dalam sekejap sudah tertidur lelap. Dia meringkuk dibalik selimut dengan nyaman. Lebih tepatnya selimut wangi Deva.
Deva berdiri di depan televisi dengan setelan santainya. Dia berdeham sebelum memulai, dan merapikan rambutnya dengan jari jemari.
Ini adalah cara terbaik agar Deva mengungkapkan perasaannyaa dengan nyaman.
“Today, I want to present to you, a comprehensive breakdown about my life crisis, and why I’ve been MIA and feeling like a mess lately.” Deva menatap Naura yang masih duduk berselimut di sofa di depannya.
“Umhm. Nice. Lanjutin.”
“First of all, kerjaanku makin banyak. Tapi, keinginan untuk hidup bisa dibilang menurun drastis. Bagi yang kurang familiar, software engineer artinya kerjaanku setiap hari di depan layar. Mataku sakit dan pinggangku sakit. Deva can you fix this? Deva can you fix that? CAN DEVA TAKE A BREAK?”
Naura tidak bisa menahan senyumnya melihat Deva-nya yang biasanya tenang tiba-tiba mengomel sampai telinganya kemerahan.
“Stres dan kehilangan minat hidup, akhirnya aku ke gym everyday until midnight. Hasilnya? Extreme fatigue, and biceps.”
Naura pura-pura tidak menatap lengan Deva.
“As you can see here, my current fuel sources are 8 shots americano, protein bars, and anxiety.” Deva, dengan serius, menunjuk data yang terlihat di televisi menggunakan pulpen yang dia temukan di atas meja.
Naura melirik gelas kopi di atas meja televisi.
Halaman presentasi berganti. Menampilkan gambar anjing dan nama Lei. Naura menunggu Deva yang masih diam mempersiapkan kata-kata.
“I literally cried. I cried for three days straight. I don’t want to call you karena cerita ke kamu dan mengingat meninggalnya Lei akan membuat aku semakin sedih. I feel way better now. I know she loves me.”
Naura mengangguk dan tersenyum.
“Next.” Deva menekan tombol lanjut dari remotenya.
“Mau lanjut?” Tanya Deva dengan wajah datar.
“Iya… kenapa?” Naura mengernyit bingung. Memangnya ada apa dengan halaman selanjutnya?
Naura terdiam.
Deva kembali serius dengan presentasinya. “Finally, let’s address the elephant in the room. Nau, I think about you a lot. A lot. Aku punya banyak pertanyaan soal kamu and our relationship,
Now, seriously, what do you want?” Deva mematikan televisi.
Jantung Naura langsung berdetak luar biasa kencang. Panasnya serasa hilang. Matanya memanas. Dia terkejut. Semua yang sudah lama ingin dia ucapkan pada Deva langsung berputar-putar di kepalanya. Mereka semua terlalu banyak sampai dirinya pusing. Matanya berkunang-kunang, bukan karena sakit, namun karena dia mulai menangis.
Ya tuhan. Ini bukan waktu yang tepat. Tidak. Bukan sekarang. Tapi, dia tidak mau menundanya lagi.
Naura menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya turun semakin deras.
Deva panik melihat Naura menangis. Dia meletakkan remotenya di atas meja televisi dan langsung menghampiri Naura di sofa.
“No, no.. Nau, kenapa? Aku kan cuma tanya. Kamu mau gimana?” Deva duduk mendekat. Dia mengusap air mata dari pipi Naura.
“Nggak… Dev.. nggak sekarang.. this is not the right time..” Naura menggeleng. Kedua tangannya memegangi lengan Deva di depannya.
“Terus the right time untuk kamu itu kapan, Naura?”
“Tapi, aku belum sempurna, masih banyak yang mau aku perbaikin buat kamu. Aku masih banyak salahnya sama kamu. Aku udah yakin sama kamu. All I could think adalah kamu. Aku cuma mau kamu. Tapi, aku belum pantes buat kamu..”
“Why do you have to be perfect? Kamu nggak perlu jadi perfect, Nau. Jadi Naura aja buat aku. Kata kamu tadi, we will learn everything together, kan? Kamu nggak perlu jadi sempurna, okay? Belajar sama aku. Apapun yang kamu pikirin sekarang, biar kita pikirin sama-sama nanti. Ya?” Deva menurunkan tangannya dari pipi Naura. Dia menggenggam tangan Naura kuat-kuat.
Naura terdiam. Dia berusaha mencerna kalimat Deva barusan. Dia balas menggenggam tangan Deva. Dahi ditempeli pendingin, mata merah, pipi basah, hidung mampet, “But, I’m such a mess right now..”
Deva tertawa, “That’s okay.. You’re still Naura.”
Naura menatap mata Deva di depannya dalam-dalam. Dia menatap penuh harap dan tanya.
“So?” Tanya Deva.
“No, please. Aku aja yang tanya. Please, let me.”
“No, no. Aku aja. Kamu tinggal jawab-”
“DEVA MAU NGGAK JADI PACARKU?!” Naura memotong omongan Deva secepat yang dia bisa. Tak peduli kalimat yang barusan keluar dari mulutnya tadi sempurna atau tidak.
Ini bukan momen yang sempurna. Tidak. Ini bukan momen yang dia dambakan sebelumnya.
“Mau, Naura. Mau banget.” Deva tersenyum senang. Dia membawa tangan Naura dalam genggamannya, dan mencium punggung tangan itu.
Karena semua momen bersama Deva, sudah lebih dari sempurna.
Semuanya berantakan. Malam ini berantakan. Semua tidak berjalan sesuai rencana. Tapi tidak apa-apa, karena dia akan merapikannya bersama Deva nantinya.