From Abel’s MacBook

Good Night, Ale!
5 min readJust now

--

Photo by J Shim on Unsplash

“Ra, hati-hati. Awas itu infus kamu.”

Abel membenarkan selang infus Amara yang tengah duduk di atas kasurnya di tengah ruang inap. Mereka asyik sendiri dengan selang infus, sementara kamera laptop Abel sudah mulai merekam mereka.

“Kak, ih, kakak duduk, disini!” Amara menarik tangan Abel yang masih berdiri di samping kasur.

Filter hati warna merah muda di atas kepala terus mengikuti arah pergerakan mereka. Abel ikut duduk di kasur, di samping Amara. Dia merogoh sakunya, mencari korek api. Abel menyalakan dua lilin di atas kue yang mereka letakkan di atas meja.

“Halo. Hari ini Ra ulang tahun.” Abel menatap kamera laptopnya. Ia memindahkan posisi tangannya ke pundak Amara, dirangkulnya gadis itu agar mendekat. Ia mencium pucuk kepala Amara.

“Coba cerita, Ra hari ini ulang tahun gimana?” Abel menoleh ke Amara di sebelahnya.

“Halo semua. Aku Ra. Hari ini aku ulang tahun. Aku seneng-“

“Bohong.”

“Ih.”

“Nggak. Coba cerita, tadi pagi kenapa?”

“Tadi pagi aku nangis.”

Abel terkekeh, ia mengangguk setuju. “Hari ini Ra nangis terus.”

“Iya. Tadi pagi aku nangis. Aku udah seminggu dirawat di rumah sakit, guys. Aku stress. Dosen pembimbing aku jahat. Terus, aku nggak sembuh- sembuh. Terus, pacar aku jahat.” Amara menatap serius ke arah kamera sambil pura-pura melirik sinis ke arah Abel.

“Dih, kenapa?”

“Dia sombong. Dia udah lulus duluan. Sekarang dia kerja terus. Terus, dia mau dijodohin sama cewek lain!”

“Eh, apa sih? Kok bahas itu lagi?”

Abel mengernyitkan alisnya. Dia tidak suka Amara kembali membahas pertengkaran mereka beberapa hari terakhir. Kamera masih menyala. Lilin di atas kue masih menyala.

“Aku masih sakit, tapi kamu minggu ini mau balik lagi ke KL. Kalau kamu beneran nggak mau sama Naisya, atau si Kayla, atau siapa lagi lah sepupu jauh kamu itu, ngapain kamu bela-belain kesana?”

“Aku ngurusin properti ayahku di KL, Ra? Udah berapa kali aku jelasin?”

“Tapi, kamu nggak nolak waktu nenek suruh kamu ketemu si.. si.. siapa itu namanya-“

“Nggak nolak gimana?! Ra, dari awal aku udah bilang ke semua orang, aku udah punya pacar, aku pacaran sama kamu. I already told you, ya. Berapa kali, Ra? I’m not letting them to decide this for me.”

“Ya, aku juga udah bilang berapa kali?! Nggak akan ngaruh, kan, sama keluarga kamu? Emangnya kalau kamu bilang kamu udah pacaran sama aku, mereka akan nerima itu begitu aja?!”

“Aku nggak peduli. I don’t care what they accept. Ini hidup aku, Ra.”

“Kamu tuh nggak punya pilihan, tau nggak?”

Abel melepas rangkulannya. Dia tidak menduga Amara akan mengucapkan hal itu dari mulutnya. Abel menarik nafasnya pendek, berusaha memendam amarahnya yang memuncak. Dia menutup laptopnya. Tapi, tak dia sadari dia tidak menutupnya sampai habis sehingga kamera laptopnya masih merekam percakapan mereka. Meskipun pemadangan yang kameranya tangkap hanya keyboard laptop Abel.

“Aku punya pilihan, ra. and I already made it. Aku mau sama kamu.”

“Ya, kamu bisa bilang begitu sekarang. Kita kan nggak tau nanti?!”

“Ra, kamu fokus dulu sama sekarang. Udah berhari-hari aku jelasin ke kamu dan kamu nggak mau ngerti. I don’t know what do you even want?! Kamu mau aku ngomong apa?”

“Aku-“

Air matanya langsung turun deras sebelum sempat ditahan. Amara yang tadinya dengan gagah berani menatap tajam mata pacarnya langsung menunduk, menghindari mata Abel yang masih menatap dengan marah sekaligus frustasi.

“Aku nggak mau kamu kehilangan banyak hal gara-gara aku. Aku udah denger dari Kak Adel. Aku tau nenek kamu banyak ngancem-ngancem kamu kalau kamu nggak nurutin dia. Kamu nggak dibolehin take over publishing house nya bunda, kantornya ayah kamu, terus-”

Tatapan mata Abel yang tadinya tajam kini berubah melembut perlahan seiring dia mencerna ucapan Amara.

“Ra, nggak.. denger dulu. Nggak seserem yang kamu kira, kok. Nggak. Aku tuh nggak akan kenapa-kenapa, palingan dimusuhin aja.” Abel terkekeh sendiri, dia kembali merangkul Amara dan membawanya ke dalam pelukannya.

“Tapi, kamu-“

Abel mengencangkan pelukannya, “Ra, kenapa sih nggak mau percaya sama aku?” Ia menciumi pucuk kepala Amara untuk yang kedua kalinya hari itu. Dielusinya rambut panjang Amara dari ujung sampai ke bawah.

“Aku takut kalau percaya sama kamu, aku akan berharap banyak sama kita. Kalau kita nggak berhasil, aku tau aku nggak akan bisa survive.. aku nggak bisa bayangin kalau aku nggak punya kamu lagi, kak.” Amara yang dari tadi menunduk akhirnya memberanikan diri mendongak.

Mata mereka sekarang berhadapan, saling memandang. Abel dapat mendengar detak jantung Amara yang kini berbunyi luar biasa cepat.

“Ra, I need you to trust me. Sisanya biar aku urus sendiri, ya? Aku butuh kamu percaya sama aku. Ya?” Abel mendekatkan kepalanya, ia berbisik ke telinga Amara.

Amara akhirnya mengangguk dalam pelukan Abel.

“Kakak, tapi..” Amara berkata ragu.

“Apa lagi, sayang?” jawab Abel lembut.

“Jangan sendirian… aku juga mau bantu. Aku nggak mau kamu sendirian terus.”

Abel tersenyum. Ia mengangguk setuju. Tangannya kembali mengelusi rambut Amara dari ujung ke ujung. Tanpa Amara sadari, Abel kembali membuka layar laptopnya, yang ternyata masih dalam keadaan merekam.

“Kalau gitu, Ra, bantuin aku ya?”

“Apa?”

“Kamu mau ya, kenalan sama nenek? Biar nenek ketemu kamu langsung?”

“Aku mau. Tapi, aku takut sama nenek kamu.”

“Nggak apa-apa. Aku juga takut.”

“Kak,”

“Hm?”

“Dulu, ayah kakak, nikahnya umur berapa..”

“Seumuran aku sekarang.”

“Kok cepet banget..”

“Ya kan dijodohin. Kenapa emang? Kamu takut nikah sekarang?”

“Ih-“

“Ya, nggak sekarang lah. Kamu wisuda dulu sana, terus kerja. Aku cari uang yang banyak dulu soalnya kamu mau full dekor fresh rose seisi ballroom hotel.”

Amara terkekeh geli.

Abel melepas pelukannya dari badan Amara. Dia jadi teringat sesuatu perihal mawar. Amara menyeka matanya yang basah. Ternyata, dari tadi dia masih menangis di dalam pelukan Abel.

“Loh, jangan nangis, dong. Kan Ra ulang tahun.”

Abel kembali menyalakan lilin yang entah sejak kapan apinya sudah mati. Dia membetulkan posisi laptopnya yang tengah merekam mereka berdua. Abel merunduk untuk meraih sebuah buket yang dari tadi dia letakkan di lantai. Sebuah buket berisi mawar merah muda yang segar dan wangi.

Ready, Ra? Mau titip lilin sekarang?”

Amara mengangguk senang. Meskipun, matanya masih sembab dan merah. Tapi, wajahnya sudah memancarkan kebahagiaan lagi.

“Kak, kakak yang make a wish.”

“Loh, aku?”

“Iya, maunya kamu aja.”

Abel membetulkan posisi duduknya menghadap laptop dan kue yang sama-sama berada di atas meja. Ia merangkul Amara mendekat ke arahnya. Diraihnya dengan hati-hati tangan kiri Amara yang tengah diinfus.

I wish, for my Ra, for aaaaaall the great things in this world. Aku mau, Ra punya banyak hari dimana the weight on your shoulders feels lighter, dan hari dimana you believe in yourself the way I believe in you. Semoga Ra skripsiannya lancar, dan Bu Dewi segera jawab chat Ra.”

Amara tersenyum senang mendengar kalimat terakhir Abel. Dia mengangguk dan mengamini harapan Abel barusan.

“Tahun ini hadiahnya mau mawar, lagi, kan?” Abel menyodorkan buket bunga mawar hadiahnya. Amara mengangguk dengan senyum lebar.

“Ra suka banget mawar, kan? Buat aku, Ra, kamu adalah mawar aku. You are the prettiest rose of all. You are the only rose I will ever choose. I will always choose you, anytime, anywhere, no matter how hard it gets. You’re the only rose I will water everyday, and the reason i wake up every morning.”

Abel mengambil kue ulang tahun Amara dari meja. Ia menutup matanya dan mengucapkan satu harapan terakhir.

I hope, Ra keeps blooming every year.

Abel meniup lilin ulang tahun Amara.

--

--

Good Night, Ale!
Good Night, Ale!

No responses yet